Rabu, 24 November 2010

Datemaki (伊達巻?) adalah makanan Jepang yang terbuat dari telur, mirip dengan atsuyaki tamago tapi dengan campuran ikan dan udang yang dilumatkan serta diberi mirin dan gula dalam jumlah banyak sehingga terasa manis. Semua bahan-bahan dipanggang menggunakan penggorengan persegi empat hingga mengeras dan mempunyai tekstur seperti kue yang setelah matang digulung mirip dengan bolu gulung.
Di daerah Nagasaki yang terkenal dengan kue Castella (Kasutera), datemaki juga dikenal dengan nama Kasutera Kamaboko.
Di Jepang, datemaki merupakan makanan istimewa yang dihidangkan untuk menyambut Tahun Baru.

Donburi ( donburi, don?) adalah makanan Jepang berupa nasi putih dengan berbagai macam lauk di atasnya seperti ikan, daging dan sayur-sayuran berkuah yang dihidangkan di dalam mangkuk besar yang juga disebut donburi. Kuah untuk donburi bergantung pada jenis makanan, tapi pada umumnya berupa dashi dicampur kecap asin dan mirin.

Jenis-jenis Donburi

Mangkuk donburi berisi nasi putih dengan lauk belut Unagi yang dimasak cara kabayaki (dipanggang hingga matang dengan dioles saus manis-asin), dinikmati dengan bumbu penyedap merica shicuan.
Mangkuk donburi berisi nasi putih dengan lauk berupa potongan daging ayam, jamur shiitake dan bawang bombay yang dimasak bersama telur ayam dan dashi. Masakan ini dinamakan "oyakodon" karena berisi daging ayam yang merupakan "orang tua" (親子?) dari telur.
Mangkuk donburi berisi nasi putih yang disiram lauk berupa daging kerang dan daun bawang yang dimasak bersama sup miso.
Mangkuk donburi berisi nasi putih dengan lauk berupa irisan tipis daging sapi dan bawang bombay yang dimasak seperti semur dengan dashi, kecap asin, dan mirin.
Mangkuk donburi berisi nasi putih dengan lauk tonkatsu (gorengan potongan lebar daging babi yang dibungkus tepung panir) dan disiram saus kental
Mangkuk donburi berisi nasi putih dengan lauk beberapa jenis tempura seperti udang, terong, labu parang, dan nori yang disiram dengan kuah kental dari kecap asin, gula, dan dashi.
Mangkuk donburi berisi nasi putih dengan lauk beberapa kari ala Jepang yang berisi daun bawang, aburage atau daging.
Mangkuk donburi berisi nasi putih dengan lauk telur ikan mentah yang disebut Ikura.
Mangkuk donburi berisi nasi putih dengan hewan laut bernama bulu babi (uni) yang dimakan mentah.
Merupakan variasi dari Oyakodon yang menggunakan daging, disebut tanin (他人 orang lain?) karena daging dan telur ayam tidak punya hubungan saudara.
Mangkuk donburi berisi nasi putih dengan lauk capcay daging dan sayur-sayuran.
Mangkuk donburi berisi nasi putih dengan lauk irisan ikan tongkol mentah dan nori.
Variasi dari gyudon yang memakai daging babi.
Mangkuk donburi berisi nasi putih yang disiram dengan masakan tahu dan daging yang disebut mápó dòufu.

Sejarah

Cara makan nasi di dalam mangkuk donburi tidak mempunyai catatan sejarah yang panjang. Unadon baru dikenal pada awal abad-19, sedangkan Fukagawadon baru dikenal pada zaman Edo periode akhir. Gyudon mulai dikenal di periode awal zaman Meiji, sedangkan Uyakodon baru dikenal pada tahun 1891. Pada tahun 1913 mulai dikenal Sōsu Katsudon, sedangkan Katsudon seperti yang dikenal sekarang ini baru ada sejak tahun 1921.
Menurut budaya makan yang dikenal sejak zaman dulu di Jepang, nasi putih harus dihidangkan di dalam mangkuk kecil dengan lauk yang diletakkan di piring terpisah. Makan nasi dengan lauk yang ditaruh di atasnya dianggap tidak sopan, sehingga cara makan dengan meletakkan nasi dalam porsi besar beserta di dalam mangkuk donburi dianggap melanggar aturan. Donburi dianggap cara makan yang praktis karena nasi sudah dihidangkan bersama lauk, sedangkan kuah yang meresap ke dalam nasi dianggap sebagai kelezatan tersendiri. Di Jepang, Donburi dianggap makanan rakyat karena tidak mungkin menikmati nasi dalam mangkuk donburi sambil mematuhi segala macam etiket makan.

Katsudon

Tendon
Fugu adalah hidangan khas Jepang yang dibuat dari sejenis ikan buntel (biasanya spesies Takifugu, Lagocephalus, atau Sphoeroides) atau ikan landak (dari genus Diodon). Karena ikan buntel beracun, hanya koki terlatih yang boleh mempersiapkan hidangan ini.
Kandungan racun ikan buntel terdapat di hati, kelenjar gonad, dan kulit. Koki harus mempersiapkan hidangan ini sedemikian rupa agar sedikit racun tercampur ke dalam hidangan. Kandungan racun yang kecil ini memberi rasa nikmat di mulut dan membuat fugu sangat mahal. Namun bila dimakan terlalu banyak, racun ini akan membuat otot kaku sehingga bila tidak ditangani korban akan meninggal karena tidak dapat bernafas.

Furikake (ふりかけ?) adalah bumbu makanan asal Jepang yang berbentuk butiran, tepung, atau berserat seperti abon. Bumbu ini ditaburkan di atas nasi dan dimakan sebagai lauk. Furikake tidak dibuat sewaktu ingin dimakan, melainkan dibuat sekaligus dalam jumlah besar dan dimakan sedikit-sedikit di kemudian hari. Produsen makanan sekarang ini membuat furikake dalam berbagai macam rasa dan kemasan menarik.
Sejenis furikake yang disebut bumbu ochazuke (ochazuke no moto) ditaburkan di atas nasi dan disiram dengan air panas atau teh hijau panas untuk membuat ochazuke. Sewaktu membuat onigiri, nasi yang sudah ditaburi furikake diaduk-aduk lebih dulu sebelum dibentuk sebesar kepalan.
Semua bahan yang ingin dibuat furikake dihancurkan hingga agak halus dan diberi bumbu. Setelah dikeringkan, isi lain (seperti nori, biji wijen, atau sayur yang dikeringkan) ditambahkan ke dalam furikake sebagai penyedap. Furikake segar (nama furikake) adalah variasi dari furikake yang tidak dikeringkan. Semua bahan-bahan hanya dicampur dan diaduk menjadi satu. Bahan-bahan untuk furikake segar adalah ikan teri, serutan katsuobushi, potongan kecil rumput laut, kombu, abon ikan atau makanan laut lain.

Sejarah

Makanan ini disebut "furikake" karena mulanya disimpan di dalam botol yang harus "diguncang-guncangkan" (bahasa Jepang: furu) agar tercampur rata sebelum "ditaburkan" (kakeru) di atas nasi. Asal-usulnya adalah bumbu tabur di atas sekihan (nasi merah) yang disebut gomashio (campuran biji wijen dan garam) dan yukari (garam dan daun perilla bekas perendam umeboshi yang dikeringkan dan dihaluskan).
Usaha membuat lauk yang lezat dan bergizi dimulai dari berbagai daerah di Jepang sejak zaman Taisho hingga awal zaman Showa. Menurut Asosiasi Produsen Furikake Jepang, bumbu makanan bermerek Gohan no Tomo (translasi literal: "teman nasi") asal Prefektur Kumamoto adalah perintis furikake di Jepang. Produk ini diciptakan pada awal zaman Taisho oleh seorang apoteker bernama Suekichi Yoshimaru yang prihatin dengan kondisi orang Jepang yang kekurangan kalsium. Furikake dibuatnya dari tulang ikan yang dihaluskan menjadi tepung.

Furikake di atas nasi
Ganmodoki (がんもどき?) adalah makanan olahan dari Jepang yang dibuat dari tahu. Nama makanan ini sering disingkat sebagai ganmo.
Makanan ini dibuat dengan memeras tahu hingga airnya keluar. Setelah itu, tahu dicampur dengan umbi yamaimo, wortel, gobo, jamur, rumput laut, biji buah gingko, dan lain-lain. Adonan dibuat bulat-bulat dan digoreng. Ganmodoki sering dipakai dalam masakan seperti oden atau nimono.

Asal usul

Ganmodoki mula-mula dibuat sebagai pengganti daging dalam masakan Buddhis (shōjin ryōri). Ada beberapa pendapat tentang asal usul nama ganmodoki. Rasanya konon seperti daging angsa liar sehingga disebut ganmodoki. Dalam bahasa Jepang, gan berarti angsa liar sementara modoki berarti barang palsu. Selain itu, makanan ini mungkin disebut ganmodoki karena mirip makanan olahan yang disebut gan, dibuatnya dari daging burung yang dihaluskan dan dibuat seperti bola-bola. Dalam bahasa Jepang, gan (?) berarti bola. Penjelasan lain mengatakan irisan halus kombu pada ganmodoki terlihat seperti angsa (gan) yang sedang terbang. Kombu memang sering dipakai sebagai pengganti kikurage (jamur kuping merah kering) sebagai bahan ganmodoki.
Di Kansai, ganmodoki dipanggil hiryūzu, hiriuzu, hirousu, atau hiryōzu. Kata hirousu berasal dari kata filhós dalam bahasa Portugis. Filhós adalah kue dari adonan tepung terigu dengan telur yang digoreng. Hingga akhir zaman Edo, nama "ganmodoki" juga dipakai untuk masakan tumis konnyaku.
Langsung ke: navigasi, cari
 
Gyūdon (牛丼?, sapi, mangkuk) atau beef bowl adalah makanan Jepang jenis Donburi berupa semangkuk nasi putih yang di atasnya diletakkan irisan daging sapi bagian perut dan bawang bombay yang sudah dimasak dengan kecap asin dan gula. Sebagai penyedap, di atasnya sering ditambahkan asinan jahe (benishōga), campuran rempah dan cabai yang disebut shichimi, atau telur ayam mentah sesuai selera.
Gyūdon berasal dari makanan yang disebut Sukiyakidon (sukiyaki donburi), sehingga sering dijumpai gyudon yang memakai shirataki seperti halnya sukiyaki.

Sejarah

Di zaman Meiji sudah dikenal cikal bakal gyūdon yang disebut Gyumeshi berupa semangkok nasi yang diatasnya diletakkan irisan daging sisa Gyūnabe (daging sapi yang dimasak dengan kecap asin dan gula). Pada waktu itu, orang Jepang sering mendengar orang asing memanggil anjingnya, "Come (here)", tapi menurut pendengaran orang Jepang, "come" terdengar seperti "kame" dan orang asing tersebut disangka sedang memanggil anjing yang bernama Kame. Dari nama anjing bernama Kame konon lahir sebutan Kamechabu, chabu (makanan) untuk si Kame berupa nasi dicampur sisa-sisa Gyūnabe yang tidak habis dimakan.
Restoran siap saji Yoshinoya yang membuka cabang dengan sistem waralaba mempopulerkan gyūdon sebagai makanan rakyat pada paruh kedua tahun 1970-an. Makanan serupa juga dihidangkan dengan nama Gyūmeshi oleh restoran waralaba lain seperti Yōrōnotaki, Matsuya, Sukiya dan Kōbe Ranputei.
Pada tanggal 11 Februari 2004, Yoshinoya dan restoran gyūdon lain terpaksa menghentikan penjualan gyūdon akibat kekuatiran daging sapi dari Amerika Serikat tercemar penyakit sapi gila. Parlemen Jepang berusaha mendatangkan kembali daging sapi dari Amerika sejak Mei 2005, tapi baru berhasil mengimpor di bulan Januari 2006.
Pada tanggal 18 September 2006, Yoshinoya kembali menjual Gyūdon tapi hanya selama satu hari penuh saja, itu pun dengan jumlah porsi yang terbatas (1 juta porsi dengan jatah 1.000 porsi per restoran).

Serbaneka

Di Jepang, penyajian gyūdon di restoran Yoshinoya mengenal dua istilah: Tsuyudaku dan Negidaku. Tsuyudaku berarti nasi diberi kuah daging yang banyak, sedangkan Negidaku berarti nasi diberi bawang bombay yang banyak.

Gyūdon
Jiaozi adalah daging babi atau udang dan sayuran yang dicincang dan dibungkus lembaran tepung terigu. Adonan kulit dibuat dari campuran tepung terigu, air, dan garam dapur. Makanan ini dimatangkan dengan cara direbus. Di Jepang, makanan serupa disebut gyōza, sementara di Korea disebut mandu. Jiaozi tidak sama dengan pangsit (wonton). Kulit jiaozi lebih tebal dari pangsit.
Dari peninggalan Zaman Musim Semi dan Gugur di Cina diketahui bahwa orang pada zaman itu sudah memakan jiaozi. Dari dalam guci yang ditemukan dari makam di Dunhuang asal Dinasti Tang ditemukan jiaozi dalam keadaan kering.
Berkas:Jiaozi-close-look.jpg

Kabayaki (蒲焼、蒲焼き、かばやき?) adalah salah satu cara memasak ikan dalam masakan Jepang. Setelah dibelah dan dibuang isi perut dan tulang, ikan ditusuk dengan tusukan besi/bambu, dan diberi saus yang terutama dibuat dari campuran kecap asin, mirin, gula pasir, dan sake.
Kabayaki berasal dari kata kaba atau gama (?), nama Jepang untuk tanaman air yang disebut stok (Typha latifolia), dan yaki (?). Bunga betina Typha latifolia berbentuk gilig berwarna cokelat keemasan mirip unagi yang ditusuk sepanjang tubuh dan dibakar.[1]
Jenis ikan yang biasa dibuat kabayaki, misalnya sidat jepang (nama Jepang: unagi), Conger myriaster (anago), sauri pasifik (sanma), dan sarden (iwashi). Meskipun demikian, ikan yang paling umum dibuat kabayaki adalah sidat jepang dan Conger myriaster. Bila hanya disebut kabayaki, maka kemungkinan besar yang dimaksudkan adalah unagi kabayaki. Sauri pasifik dan sarden yang dimasak cara kabayaki lebih sering dijual sebagai makanan kaleng.
Ada dua teknik memasak cara kabayaki, cara Kanto dan cara Kansai. Di daerah Kanto, ikan dikukus lebih dulu hingga matang sebelum dipanggang. Di daerah Kansai, ikan dipanggang tanpa dikukus.[2] Sewaktu dikukus, lemak pada unagi menjadi jauh berkurang. Oleh karena itu, lemak pada unagi kabayaki ala Kanto lebih sedikit dibandingkan unagi kabayaki ala Kansai.[2]
Unagi kabayaki dipercaya orang Jepang sebagai makanan bergizi untuk menambah stamina sepanjang musim panas. Pada hari Doyō no Ushi musim panas (sekitar minggu ke-3 atau minggu ke-4 bulan Juli) terdapat tradisi makan unagi kabayaki di seluruh Jepang.

Unagi kabayaki
Kaitenzushi (回転寿司?) adalah model penjualan sushi siap saji yang meletakkan sushi dalam piring-piring kecil yang beredar dengan bantuan ban berjalan sehingga pengunjung restoran dapat mengambil sendiri piring sushi yang diinginkan.

Ciri khas

Jumlah harga makanan yang harus dibayar dihitung berdasarkan jumlah, warna, atau motif piring yang telah kosong. Pada beberapa restoran Kaitenzushi, sup dan minuman harus dipesan secara terpisah. Pengunjung juga bisa meminta secara langsung kepada ahli sushi agar dibuatkan sushi yang diingini jika kebetulan jenis sushi yang disenangi tidak beredar.
Teknologi modern banyak yang digunakan oleh restoran Kaitenzushi, mulai dari layar sentuh untuk memesan sushi dan memberitahu pengunjung bahwa sushi yang dipesan hampir tiba, ban berjalan khusus untuk minuman, sampai pada piring-piring kosong yang bisa dikumpulkan secara otomatis berikut perhitungan harga makanan yang harus dibayar.
Ban berjalan yang digunakan Kaitenzushi biasanya berputar sesuai arah jarum jam, desain ini sesuai untuk orang yang memegang sumpit dengan menggunakan tangan kanan.
Di restoran Kaitenzushi juga bisa ditemui makanan lain seperti tempura, furai (gorengan berbalut tepung roti), soba, chawanmushi, hidangan pencuci mulut seperti bolu, dan minuman keras seperti bir dan sake yang diedarkan dengan menggunakan ban berjalan.

Sejarah


Kaitenzushi yang pertama, restoran pusat Genroku sushi
Shiraishi Toshiaki yang membuka warung yang pengunjungnya makan sushi sambil berdiri mendapat gagasan untuk menggunakan ban berjalan untuk restoran sushi setelah melihat ban berjalan yang digunakan pabrik bir Asahi. Pesanan pengunjung yang terdiri dari beraneka ragam sushi diharapkan bisa dipenuhi dengan sistem ban berjalan, sekaligus dapat menekan biaya operasi sampai serendah-rendahnya.
Pada tahun 1958, Genrokuzushi yang merupakan restoran Kaitenzushi pertama di dunia dibuka di dekat stasiun Fuse milik Kintetsu yang terletak di kota Fuse (sekarang kota Higashi Osaka, Prefektur Osaka). Restoran Genrokuzushi memegang merek dagang untuk istilah mawaru (廻る?, berputar) dan kaiten (廻る?, beredar), sehingga restoran sushi yang sejenis tidak dapat menggunakan istilah Kaitenzushi sampai tahun 1997.

Kamaboko (蒲鉾?) adalah sebutan untuk berbagai makanan olahan dari ikan yang dihaluskan, dicetak di atas sepotong kayu, dan dimatangkan dengan cara dikukus. Irisan kamaboko bisa langsung dimakan begitu saja atau digunakan sebagai pelengkap dan hiasan berbagai macam makanan berkuah, seperti ramen, soba, atau udon.
Adonan diletakkan di atas potongan kayu berbentuk persegi empat dan diratakan hingga berbentuk setengah lingkaran. Potongan kayu yang menjadi alas kamaboko dipilih dari kayu yang tidak berbau bila dikukus. Adonan sering dicampur pewarna makanan berwarna merah jambu agar menarik. Salah satu jenis kamaboko yang disebut Naruto atau Naruto-maki, bila dipotong membentuk irisan bermotif pusaran air. Kamaboko yang meniru rasa kepiting disebut kanikama atau kanikamaboko.

Sejarah

Di zaman dulu, istilah "kamaboko" digunakan makanan yang sekarang disebut Chikuwa, karena berbentuk bulat panjang seperti bunga (ho) sejenis tanaman rumput yang disebut Gama. Pada perkembangan selanjutnya, kamaboko dicetak di atas sepotong kayu sehingga disebut Itakamaboko (kamaboko di atas papan), sedangkan Chikuwa yang dulunya disebut Chikuwa-kamaboko menjadi cuma disebut Chikuwa. Di zaman sekarang, Itakamaboko hanya disebut sebagai kamaboko. Di Jepang, asosiasi produsen kamaboko menetapkan tanggal 15 November sebagai Hari Kamaboko. Tanggal 15 November diambil dari angka tahun 1115, karena pada tahun itu kamaboko pertama kali dihidangkan di istana kaisar.
Mahalnya harga bahan baku berupa ikan berdaging putih menjadikan kamaboko sebagai makanan mewah. Kamaboko juga merupakan salah satu makanan yang harus ada dalam masakan Osechi (hidangan tahun baru).

Kamaboko di berbagai daerah di Jepang

  • Saiku kamaboko (kamaboko artistik)
Kamaboko yang dicetak dengan bentuk ikan kakap atau mizuhiki, digunakan sebagai cenderamata yang dibagi-bagikan kepada tamu yang menghadiri pesta pernikahan. Tradisi ini terdapat di kota Maizuru dan prefektur Toyama. Kamaboko berharga mahal dengan bentuk ikan kakap berskala 1:1 sering dibagi-bagikan kepada tamu yang menghadiri pesta pernikahan mewah.
  • Haben
Di prefektur Toyama, kamaboko disebut Habén dan tidak dibentuk di atas sepotong kayu, melainkan dibentuk seperti gulungan tamagoyaki.
  • Sasa-kamaboko (kamaboko bambu)
Di kota Sendai, kamaboko tidak menggunakan alas sepotong kayu, tapi dibentuk seperti daun bambu (sasa) dan ditusuk dengan tusukan dari bambu. Sasa-kamaboko digunakan sebagai hadiah dan oleh-oleh khas kota Sendai.
  • Yaki-kamaboko (kamaboko panggang)
Di daerah Kansai, orang lebih menyukai kamaboko yang bagian atasnya dipanggang hingga berwarna keemasan.

Cara pembuatan

Bahan baku berupa ikan yang memiliki daging berwarna putih. Bagian daging ikan yang berwarna gelap dipisahkan dan tidak digunakan. Setelah dicuci dengan air untuk menghilangkan darah dan lemak, potongan daging ikan digiling dengan penggilingan dari batu. Adonan ditambah tepung agar kamaboko memiliki tekstur kenyal. Bumbu yang ditambahkan ke dalam adonan berupa gula, garam, mirin, dan putih telur. Adonan diratakan di atas sepotong kayu dan dikukus.

Kamaboko berwarna merah dan putih
Kari adalah nama untuk berbagai jenis makanan yang dimasak dengan rempah-rempah hingga mempunyai rasa tajam dan pedas. Kari adalah masakan asal Asia Selatan, terutama dari India yang telah meluas ke seluruh negara di kawasan Asia Pasifik dan Eropa.
Bumbu dan rempah-rempah yang digunakan untuk membuat kari sangat beragam dan tidak terbatas pada ketumbar, kunyit, merica, cabai, bubuk paprika, jintan, kayu manis, kapulaga, bunga lawang, kelabet, adas manis, daun salam koja, dan cengkeh. Jenis rempah-rempah yang digunakan bergantung jenis kari dan negara asal masakan. Bubuk kari (curry powder) atau masala adalah campuran dari berbagai jenis bumbu dan rempah yang pertama kali dibuat oleh orang Inggris pada zaman Kemaharajaan Britania karena rindu dengan kari India.
Dalam bahasa-bahasa Dravida, kari berarti sayuran dalam saus atau saus.[1] Kata kerja karughi dalam bahasa Tamil berarti menggoreng dengan minyak banyak (atau membakar). Dalam bahasa Kannada, kari juga menggoreng atau hidangan gorengan.[2] Dalam sebagian bahasa-bahasa India Selatan, kari secara harfiah berarti lauk (berbagai macam masakan sayuran dan daging) yang dimakan bersama nasi atau roti. Di negara-negara Barat, curry telah menjadi kosa kata bahasa Inggris untuk semua jenis masakan khas Asia Selatan dan Asia Tenggara yang dimasak dengan berbagai rempah-rempah.
Kepopuleran kari telah menyebar dari anak benua India ke dalam khazanah masakan dunia. Setiap negara memiliki jenis kari khas yang disesuaikan dengan selera orang di negara itu. Kari telah menjadi makanan dunia, dan diadopsi ke dalam masakan Thailand, masakan Inggris, dan masakan Jepang.

Berbagai jenis kari sayuran dari India.

Murgh makhani (butter chicken).


Kushikatsu (串カツ?) adalah makanan asal daerah Kansai di Jepang berupa potongan kecil makanan laut, daging dan sayuran yang ditusuk dengan tusukan bambu yang dicelup ke dalam adonan tepung terigu dan dilapisi tepung panir sebelum digoreng di dalam minyak yang banyak. Makanan dinamakan kushikatsu karena merupakan katsu (goreng daging dengan tepung panir) yang ditusuk pada kushi (tusukan bambu).
Di daerah Kanto, kushikatsu dikenal dengan nama Kushiage, berupa potongan daging babi sebesar 3-4 cm, yang ditusuk berselang-seling dengan bawang bombay atau daun bawang dan digoreng setelah dilapis dengan tepung panir.
Kushikatsu konon diciptakan di kawasan Shinsekai, distrik Naniwa-ku, Osaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar